Pendidikan Gaya Jusnalistik
Berbagai cara yang dilakukan, untuk meningkatkan mutu pendidikan yang berkualitas serta mewujudkan pendidikan yang memamnusiakan masnusia (humanizing man). Salah satu menjadi sasaran utama adalah peningkatan kemampuan dan kompetesi guru. Sebagaimana diamantkan Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005 adalah tanda guru profoseional memiliki kompetensi profesional.
Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia, sehingga angka kemiskinan dan pengangguran dapat sedikit ditekan. Sedangkan saran terhadap peningkatan pendidikan bahkan kritikpun bagi dunia pendidikan tidak dijadikan sebagai bahan evaluasi. Sedangkan kritik sangatlah dibutuhkan. Sebab bagaimanapun tidak setiap persoalan, tanpa adanya kritik dan saran, mustahil bagi pendidikan menemukan formasi yang baik.
Pendidikan yang bermutu merupakan program kemajuan terhadap negara, membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan (humanizing human being). Sedangkan pembebasan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, ini telah dinodai oleh pemegang kebijakan yang tidak terarah. Gambaran sudah banyak sebagai cermin menjadikan terhadap peningkatan pendidikan yang berkualitas.
Menjalani kehidupan agar tetap eksis, diperlukan sebuah jiwa yang jujur dan terbuka dalam segala hal. Salah satunya hidup yang harus diperjuangkan, manusia yang arif dan bijaksana. Ketika melihat kebijakan peningkatan mutu pendidikan terjadi dua pertentangan. Dimana pendidikan hanya sebagai lahan basah untuk mengisi kantong-kantong kecil dan tidak lagi bagaiman lembaga, guru dan siswa bisa mandiri dan kreaif.
Guru (pendidik) mempunyai pengaruh sangat besar (big power). Tidak hanya terhadap prestasi pendidikan dan prilaku anak didik terhadap pendidikan. Sedangkan guru yang bertanggungjawab dan baik bagaimana memperngaruhi prilaku siswa dan kreatifitas dirinya sendiri sebagai pendidik.
Berbicara tentang cita-cita anak-anak di masa sekarang tentu sudah akan berbeda 10 tahun yang lalu, dimana lebih banyak anak yang bercita-cita menjadi dokter, pengacara, maupun pilot. Kemudian dimana anak-anak memposisikan guru? Bukankah setiap hari mereka selalu berhadapan dengan guru mereka dan berinteraksi dengan mereka?
Kondisi seperti ini,
guru dapat lebih berpengaruh kuat dari pada orang tua, karena guru lebih banyak mempunyai kesempatan meragsang kreatifitas siswa. Ketika melihat prilaku anak didik, sunguh sangat menyedihkan dan prihatin. Tawuran antar pelajar, kebiasaan membolos, menyontek, ketidak disiplinan, ketidakjujuran, thumma na'udzubillah ketidakhormatan kepada orang tua atau guru, rendahnya prestasi dan kreatifitas maupun inovasi. Pertanyaan sering muncul bagaimana menjadi guru untuk anak-anak berakhlak dan kretaif?
Untuk memiliki mutu pendidikan, memerlukan kritikan. Sedangkan kritik terhadap yang dikritik. Secara manusiawi, sadar bahwa kritik merupakan sebuah awal dari perubahan yang lebih baik dari sebelumnya bagi peraturan atau perencanaan untuk meningkatkan pendidikan yang bermutu. Namun, keritik bagi pendidikan selama ini tidak digubris sama sekali oleh pemerintah, bahkan menumbuhkan kekacauan dan banyaknya angka pengangguran dan putus sekolah.
Maka wajar pemerintah sebagai pemegang kebijakan umum pendidikan tidak lepas dari kritik. Apalagi pemerintah (manusia) pada hakikatnya sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna tidak mau dikritik dan biasanya memilik subyek ketimbang obyek.
Problem Pendidikan
Banyak orang menganggap, pendidikan sebagai suatu mekanisme yang mendisiplinkan pendidikan yang potensial, mendorong hidup hemat, sederhana dan menghapuskan kemiskinan.
Salah satu fakta yang menonjol, mengenai problem pendidikan adalah kepentingan dan kesejahteraan sebagian besar terabaikan oleh pemerintah yang berkuasa, yang tidak mempertimbangkan sama sekali kepentingan pendidikan atau kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Salah satu boleh dikata sangat pedas, pemerintah telah mewariskan versi pendidikan yang tidak berguna. Walaupun dalam pelaksanaan yang menjadi bahan acuan adalah undang-undang. Sebagaimana amanah UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 29 menyebutkan, “Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD)”.
Dalam Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2003, tentang sistem Pendidikan Nasional Bab XVI pasal 57 ayat (2) evaluasi dilakukan kepada peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan informal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan, sedangkan pasal 58 ayat (1) evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses kemampuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan, dan pasal 1 ayat (17) standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistim pendidikan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sangat beralasan jika pemerintah sebagai pemegang kebijakan pendidikan secara umum, rasional bila dicap telah mewariskan versi peraturan yang mengarah terhadap kepentingan hidonestis-pragmatis. Realitas berbicara, banyak kita temukan berbagai kasus penyunatan (eyebrow) dan kesepakatan antar lembaga, bahkan antara Diknas-Depag dengan lembaga. Baik pemalsuan data, pemaksaan membeli buku paket yang disediakan lembaga.
Bercermin terhadap kasus pelaksanaan Ujian Nasional (UN), penetapan angka kelulusan bagi siswa dengan standart nilai 5.00 sangat tidak proposinal. Sebab, hal ini menambah beban psikologis. Belum lagi ditambah adanya kebocoran soal dalam pelaksanaan UN. Ironisnya lembaga untuk memenuhi target nilai tersebut, membentuk tim untuk membantu. Apalagi materi UN tahun depan akan ditambah, yang selama ini masih mejadi persoalan.
Wajar jika terjadi pembentukan tim untuk membantu, sebab penentuan kelulusan hanya berjalan satu arah. Sehingga pendidik tidak berhak untuk menentukan lulus tidaknya. Sebab kemampuan siswa (life skill) hanya pendidik tahu pada perkembangan anak didik. Amanah pembukann UUD 1945 (2) sesuai pasal 57 ayat 1 dan pasal 1 ayat (17), sudahkan pemantauan terhadap kelayakan proses pendidikan untuk mengacu standar nasional pendidikan, hasil akhir bermuara kepada peserta didik terutama menyangkut standar kebutuhan siswa dari aspek sarana dan prasarana pendidikan, penerimaan arus informasi dan buku.
Peran dan kontribusi terhadap pendidik sangat perlu dihargai. Sebab, tidak mudah dalam membina mental dan intelektual. Sehingga selama proses belajar mengajar tidak terkesan manipulasi penentuan life skill siswa. Sebagaiman disebutkan dalam pasal 35 ayat (1) dalam penjelasan "kompetensi kelulusan adalah merupakan kualifikasi kemampuan kelulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan", hal ini jelas kemampuan lif skill siswa hanya diketahui oleh pendidik/guru.
Usaha dilakukan, dari semua jenjang pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Usaha yang dilaksanakan dengan melalui pelatihan-pelatihan. Namun masih tumpang tindih, sebab secara historis perjalanan peningkatan mutu pendidikan masih belum secara merata. Sebagian sekolah terutama di berbagai kota-kota yang hanya bisa dilihat akses peningkatannya (menggembirakan). Namun, lembaga yang ada di pedesaan terutama sekolah swasta masih tergolong kurangnya perhatian secara serius dari pemerintah.
Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan secara merata, masih belum terealisasikan. Sebagian lembaga masih banyak yang memperihatinkan baik dari segi sarana dan prasana. Sehingga menyebabkan mutu pendidikan yang akan dibingkai secara matang untuk meningkatkan banyak kendala.
Sekarang, penyelenggaraan pendidikan dilakuakan secara sentralistik, sehingga sekolah secara historis sebagai penyelenggara masih tergantung kepada keputusan berokrasi. Kadang kebijakan tersebut tidak sesuai dengan lembaga pendidikan setempat. Maka dengan demikian sekolah mulai kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk meningkatkan dan mengembangkan lembaganya secara mandiri, termasuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Selama ini, peningkatan mutu pendidikan hanya melihat dari hasil evalusi akhir (ujian nasional) dan penerapan pendekatan education production fuction hanya terlalu memusatkan terhadap input, dan tidak memperhatikan terhadap peroses pendidikan. Sedangkan dalam menentukan output sangat menentukan.
Bedasarkan kasus, kurangnya partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Sangat perlu melibatkan semua kelompok, terkait dengan kepentingan mutu pendidikan ke depan. Melibatkan kelompok tersebut, perlu adanya pelatihan manajemin pendidikan mesyarakat terhadap sekolah (society participation managements). Sebab, untuk meningkat mutu pendidikan tanpa adannya pertisipasi serta dukungan dari masyarakat mustahil tercapai mutu pendidikan nasional.
Sistem penyelenggaraan pendidikan secara sentralistik telah terbukti tidak membawa dampak yang negatif terhadap peningkatan mutu pendidikan. Bahkan dalam berbagai kasus telah menjadikan pemandulan terhadap keratifitas dan kemandirina pendidikan. Ini perlu mejadi bahan pijakan bagi pemerintah sebagai pemegang kebijakan pendidikan secara umum untuk menjaga kemandirian dan kreatifitas pendidikan. Dan semoga teruwujud pendidikan yang rahmatal lil’alamin.
Untuk memiliki mutu pendidikan, memerlukan kritikan. Sedangkan kritik terhadap yang dikritik. Secara manusiawi, sadar bahwa kritik merupakan sebuah awal dari perubahan yang lebih baik dari sebelumnya bagi peraturan atau perencanaan untuk meningkatkan pendidikan yang bermutu. Namun, keritik bagi pendidikan selama ini tidak digubris sama sekali oleh pemerintah, bahkan menumbuhkan kekacauan dan banyaknya angka pengangguran dan putus sekolah.
Maka wajar pemerintah sebagai pemegang kebijakan umum pendidikan tidak lepas dari kritik. Apalagi pemerintah (manusia) pada hakikatnya sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna tidak mau dikritik dan biasanya memilik subyek ketimbang obyek.
Problem Pendidikan
Banyak orang menganggap, pendidikan sebagai suatu mekanisme yang mendisiplinkan pendidikan yang potensial, mendorong hidup hemat, sederhana dan menghapuskan kemiskinan.
Salah satu fakta yang menonjol, mengenai problem pendidikan adalah kepentingan dan kesejahteraan sebagian besar terabaikan oleh pemerintah yang berkuasa, yang tidak mempertimbangkan sama sekali kepentingan pendidikan atau kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Salah satu boleh dikata sangat pedas, pemerintah telah mewariskan versi pendidikan yang tidak berguna. Walaupun dalam pelaksanaan yang menjadi bahan acuan adalah undang-undang. Sebagaimana amanah UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 29 menyebutkan, “Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD)”.
Dalam Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2003, tentang sistem Pendidikan Nasional Bab XVI pasal 57 ayat (2) evaluasi dilakukan kepada peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan informal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan, sedangkan pasal 58 ayat (1) evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses kemampuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan, dan pasal 1 ayat (17) standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistim pendidikan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sangat beralasan jika pemerintah sebagai pemegang kebijakan pendidikan secara umum, rasional bila dicap telah mewariskan versi peraturan yang mengarah terhadap kepentingan hidonestis-pragmatis. Realitas berbicara, banyak kita temukan berbagai kasus penyunatan (eyebrow) dan kesepakatan antar lembaga, bahkan antara Diknas-Depag dengan lembaga. Baik pemalsuan data, pemaksaan membeli buku paket yang disediakan lembaga.
Bercermin terhadap kasus pelaksanaan Ujian Nasional (UN), penetapan angka kelulusan bagi siswa dengan standart nilai 5.00 sangat tidak proposinal. Sebab, hal ini menambah beban psikologis. Belum lagi ditambah adanya kebocoran soal dalam pelaksanaan UN. Ironisnya lembaga untuk memenuhi target nilai tersebut, membentuk tim untuk membantu. Apalagi materi UN tahun depan akan ditambah, yang selama ini masih mejadi persoalan.
Wajar jika terjadi pembentukan tim untuk membantu, sebab penentuan kelulusan hanya berjalan satu arah. Sehingga pendidik tidak berhak untuk menentukan lulus tidaknya. Sebab kemampuan siswa (life skill) hanya pendidik tahu pada perkembangan anak didik. Amanah pembukann UUD 1945 (2) sesuai pasal 57 ayat 1 dan pasal 1 ayat (17), sudahkan pemantauan terhadap kelayakan proses pendidikan untuk mengacu standar nasional pendidikan, hasil akhir bermuara kepada peserta didik terutama menyangkut standar kebutuhan siswa dari aspek sarana dan prasarana pendidikan, penerimaan arus informasi dan buku.
Peran dan kontribusi terhadap pendidik sangat perlu dihargai. Sebab, tidak mudah dalam membina mental dan intelektual. Sehingga selama proses belajar mengajar tidak terkesan manipulasi penentuan life skill siswa. Sebagaiman disebutkan dalam pasal 35 ayat (1) dalam penjelasan "kompetensi kelulusan adalah merupakan kualifikasi kemampuan kelulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan", hal ini jelas kemampuan lif skill siswa hanya diketahui oleh pendidik/guru.
Usaha dilakukan, dari semua jenjang pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Usaha yang dilaksanakan dengan melalui pelatihan-pelatihan. Namun masih tumpang tindih, sebab secara historis perjalanan peningkatan mutu pendidikan masih belum secara merata. Sebagian sekolah terutama di berbagai kota-kota yang hanya bisa dilihat akses peningkatannya (menggembirakan). Namun, lembaga yang ada di pedesaan terutama sekolah swasta masih tergolong kurangnya perhatian secara serius dari pemerintah.
Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan secara merata, masih belum terealisasikan. Sebagian lembaga masih banyak yang memperihatinkan baik dari segi sarana dan prasana. Sehingga menyebabkan mutu pendidikan yang akan dibingkai secara matang untuk meningkatkan banyak kendala.
Sekarang, penyelenggaraan pendidikan dilakuakan secara sentralistik, sehingga sekolah secara historis sebagai penyelenggara masih tergantung kepada keputusan berokrasi. Kadang kebijakan tersebut tidak sesuai dengan lembaga pendidikan setempat. Maka dengan demikian sekolah mulai kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk meningkatkan dan mengembangkan lembaganya secara mandiri, termasuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Selama ini, peningkatan mutu pendidikan hanya melihat dari hasil evalusi akhir (ujian nasional) dan penerapan pendekatan education production fuction hanya terlalu memusatkan terhadap input, dan tidak memperhatikan terhadap peroses pendidikan. Sedangkan dalam menentukan output sangat menentukan.
Bedasarkan kasus, kurangnya partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Sangat perlu melibatkan semua kelompok, terkait dengan kepentingan mutu pendidikan ke depan. Melibatkan kelompok tersebut, perlu adanya pelatihan manajemin pendidikan mesyarakat terhadap sekolah (society participation managements). Sebab, untuk meningkat mutu pendidikan tanpa adannya pertisipasi serta dukungan dari masyarakat mustahil tercapai mutu pendidikan nasional.
Sistem penyelenggaraan pendidikan secara sentralistik telah terbukti tidak membawa dampak yang negatif terhadap peningkatan mutu pendidikan. Bahkan dalam berbagai kasus telah menjadikan pemandulan terhadap keratifitas dan kemandirina pendidikan. Ini perlu mejadi bahan pijakan bagi pemerintah sebagai pemegang kebijakan pendidikan secara umum untuk menjaga kemandirian dan kreatifitas pendidikan. Dan semoga teruwujud pendidikan yang rahmatal lil’alamin.
PROBLEM PENDIDIKAN KITA
Reviewed by zaenal abidin fauzi
on
Wednesday, November 12, 2008
Rating:
No comments: